Mataku tak henti-henti mengikuti
semua gerak-gerik seorang wanita paruh baya di seberang jalan. Kini tangan
kirinya memegang tas plastik berisi semacam belanjaan. Sedangkan tangan kanannya
sibuk mengotak-atik sebuah handphone.
Disebelahnya ada seorang remaja yang berparas cantik (mungkin) anak dari wanita
paruh baya itu. Ya , aku yakin mereka ibu dan anak, wajah mereka begitu mirip.
Sesekali aku membuang mukaku ketika mata mereka tertuju padaku. Mereka terlihat
sedang mencari-cari seseorang, mungkin juga menunggu seseorang.
Sedangkan dari tadi aku berdiam
diri. Menunggu handphone di saku
celanaku berdering. Atau lebih tepatnya menunggu seseorang menghubungiku.
Sungguh melelahkan bukan? ketika harus mencari-cari seseorang yang belum pernah
kita temui sebelumnya di tempat yang sangat ramai seperti ini. Di kota yang
terkenal dengan batiknya. Ya aku sedang berdiam diri di jalan Malioboro,
Jogjakarta. Jalan yang sangat
terkenal dengan para pedagang
kaki lima yang
menjajakan kerajinan khas jogja dan warung-warung lesehan di malam hari, yang menjual makanan gudeg khas jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman-seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti
bermain musik, melukis, hapening art, pantomim dan lain-lain disepanjang jalan ini. Sungguh, disini
sangat ramai.
“drrrt”
handphone di saku celanaku bergetar. Refleks tanganku dengan cepat merogohnya.
1 pesan masuk tertulis dilayar handphoneku. Segera aku membukanya.
Sesuai
dengan perkiraanku, sms ini dari seseorang yang dari tadi aku cari. Seseorang
yang sama sekali belum pernah aku temui lagi selama belasan tahun. Ibuku. Ya
ibuku.
“ibu
dan kakakmu sudah sampai di Malioboro, kamu dimana nak? Ibu tepat di bawah
plang Malioboro” begitu isi sms yang ku terima.
Kembali
ku arahkan mataku kepada 2 wanita asing tadi. Bibirku membentuk senyuman
bahagia. Karena tepat di atas kepala mereka ada plang yang bertuliskan ‘JL.
MALIOBORO’. Tidak sia-sia dari tadi aku memantau mereka. Ternyata mereka orang
yang dari tadi aku cari. Segera aku berlari menyebrangi jalan. Dan kini aku
tepat di depan mereka.
“Yasintha?”
Tanya wanita paruh baya pelan dengan sedikit ragu. Aku hanya menganggukkan
kepala. Matanya kini berkaca-kaca. Dengan langkah yang pasti dia melangkah maju
mendekatiku. Tiba-tiba “Brukk” pelukan paruh baya tadi mengikat kuat. Tubuhku
melemah, jantungku berdebar hebat. Jelas terdengar suara ‘dag dig dug’ di
dadaku. Sungguh hangat pelukannya. Tetesan air pertamaku pun jatuh. Oh Tuhan sungguh
aku sangat merinding. Keadaan ini sungguh membuat air mataku mengalir dengan
deras. Sehangat inikah pelukan seorang ibu? Ibu yang selama belasan tahun
terpisahkan dengan seorang anaknya. Ya, aku! aku anaknya yang tak pernah tau
bagaimana wajahnya. Sejak bayi, ketika umurku baru 4 bulan, aku ditinggalkan
ibu kandungku. Yang terpisahkan oleh sebuah perceraian. Tapi kini dia nyata.
Bahkan kini aku ada dalam pelukannya. Sungguh aku rindu!
“Ibu?”
tanyaku memastikan saat melepaskan pelukannya. Entah bagaimana wajahku sekarang.
Mungkin telah penuh dengan bulir-bulir air mata bahagia, tepatnya air mata
kerinduan.
“Ya,
aku ibumu nak.” Jawabnya lirih dengan air mata yang mengalir melewati bibirnya.
Tuhan,
aku tak pernah menyangka ini. Ibu yang selama ini hanya kulihat dalam mimpi,
kini jelas berada di depanku. Rinduku! ternyata rinduku sungguh terbalaskan
detik ini. Terimakasih Tuhan. Sungguh pelukan pertama ini begitu hangat
rasanya.
‘MALIOBORO! Disini, air mata bahagiaku jatuh.
Disini air mataku mengalir dengan pelukan hangat yang nyaman dari seorang ibu.’
Ditulis dengan air mata yang mengalir secara sederhana
No comments:
Post a Comment